Selama berabad - abad sejak tiba di Semarang, masyarakat tionghoa mulanya bermukim di daerah Mangkang, nama yang aslinya berasal dari kata wakang tjoen atau perahu layar besar. Kejadian pemberontakan orang - orang tionghoa di Batavia terhadap pemerintah kolonial Belanda yang ditakutkan merembet ke Semarang membuat pemerintah Hindia Belanda melokalisir orang - orang tionghoa ke tempat yang mudah mereka pantau disekitar Kali Semarang, tempat yang sekarang dikenal sebagai Pecinan Semarang.
Sejak dilokalisir di sekitar Kali Semarang, masyarakat tionghoa yang akan mengadakan upacara sembahyang harus bersusah payah pergi ke klenteng Gedung Batu, Simongan baik untuk sembahyang sehari – hari maupun untuk memperingati kedatangan Laksamana Cheng Ho yang sangat dihormati itu.
Pada masa itu, jarak yang harus ditempuh untuk mencapai bukit Simongan dari wilayah pemukian masyarakat Tionghoa disepanjang Kali Semarang termasuk sangat jauh, mengingat kondisi kota Semarang waktu itu yang masih berpusat di wilayah kota lama sekarang, juga karena kondisi keamanan yang selalu menjadi penghambat bagi masyarakat yang ingin bersembahyang di klenteng tertua di Semarang tersebut, kemudian mendorong mereka untuk mendirikan tempat ibadah di dekat tempat tinggalnya.
Diprakarsai oleh seorang saudagar bernama Khouw Ping (Xu Peng), pada tahun 1724 didirikanlah sebuah rumah pemujaan yang kemudian diberi nama Kwan Im Ting. Lokasinya terletak disamping sebuah kolam kecil, ditengah rerimbunan pohon – pohon asam dan agak terpencil dari pemukiman. Klenteng kecil itu lambat laun berubah menjadi pusat keramaian, daerah sekitarnya juga berkembang menjadi semakin ramai dan padat. Setiap tanggal 1 (Je It) dan 15 (Cap Go) penanggalan Imlek, tempat tersebut selalu ramai dikunjungi masyarakat pecinan. Jika dipetakan dalam kondisi sekarang, Kwan Im Ting kira – kira terletak ditengah antara jalan Wotgandul Timur (Cap Kao Keng) dan jalan Gang Cilik, atau berada ditengah – tengah jalan Gang Belakang. Kolam kecil yang oleh masyarakat sekitar disebut Bale Kambang itu bertahan selama lebih dari 200 tahun, sayangnya karena kolam itu banyak dipakai untuk menimbun sampah dan kotoran lainnya, pada tahun 1966 akhirnya ditutup untuk umum dan sekarang diatasnya telah berdiri bangunan gudang.
Pada tahun 1753 terjadi peristiwa bentrokan antar kelompok penjudi yang sedang mabuk di halaman Kwan Im Ting. Peristiwa ini menimbulkan reaksi yang sangat besar dari tokoh – tokoh masyarakat waktu itu. Dari peristiwa tersebut kemudian muncul pemikiran untuk memindahkan Kwan Im Ting ketempat lain yang lebih luas dan aman. Berbagai pembicaraan terus dilakukan, hingga akhirnya pada tahun 1771, atas petunjuk dari ahli fengshui, dipimpin oleh Khouw Ping, beberapa saudagar tionghoa memilih sebuah areal tanah luas ditepi Kali Semarang yang kala itu masih berupa kebun lombok. Masyarakat tionghoa bergotong royong menyumbang berbagai keperluan pendirian tempat ibadah baru mereka, bukan saja sumbangan uang, tapi juga berbagai bahan bangunan. Tukang – tukang batu, tukang kayu, ahli ukir dan banyak lagi didatangkan dari berbagai tempat. Patung – patung para dewa dan dewi didatangkan langsung dari negeri China.
Tahun 1772, setahun semenjak mulai dibangun, klenteng itu telah berdiri dengan megah dan kokoh, Tay Kak Sie namanya, artinya Kuil Kesadaran.
Prosesi memindahkan patung dan abu dupa Kwan Im Poo Sat (Dewi Welas Asih – Avalokiteswara) dari Kwan Im Ting ke Tay Kak Sie dilakukan dalam upacara sembahyang besar – besaran. Pertunjukan wayang potehi dari Batavia (sekarang Jakarta) diadakan selama dua bulan penuh, itulah untuk pertama kalinya masyarakat Semarang mengenal wayang potehi.
Gang Lombok
Keberadaan klenteng Tay Kak Sie diatas kebun lombok, akhirnya membuat klenteng tersebut juga dikenal sebagai klenteng Gang Lombok. Keberadaannya benar – benar membuat suasana disekitarnya menjadi hidup dan ramai. Kali Semarang yang kala itu masih lebar dan dalam dapat dilalui oleh perahu dan tongkang, hilir mudik dari laut hingga kedalam kota, membuat perdagangan disitu menjadi semakin ramai dan maju. Areal tempat kapal – kapal itu membongkar muatannya terletak tidak jauh dari klenteng Tay Kak Sie, sebagian besar gudang disitu adalah milik Khouw Ping, sehingga lambat laun tempat itu dikenal penduduk sekitar sebagai “sungainya Khouw Ping” atau dalam logat Semarangan menjadi “kalinya Khauw Ping”, lidah orang sekitar menyederhanakannya menjadi Kali Koping.
Sumber : gangbaru.com