LUNPIA sudah begitu identik dengan oleh-oleh khas Semarang. Jajanan gorengan yang terbuat dari kulit tipis berbahan terigu yang diisi dengan rebung (bambu muda) dicampur telur dan udang ini mudah ditemui di berbagai tempat.
Selain digoreng, ada pula lunpia basah atau tanpa digoreng. Di pasar tradisional, warung, juga di pusat oleh-oleh. Dari sekian banyak penjual itu ada keluarga pembuat lunpia yang turun-temurun meneruskan dan mengembangkan usaha itu, yaitu keturunan Tjoa Thae Joe-Wasi.
Hingga kini usaha jualan lunpia itu diteruskan generasi keempat, yakni Siem Siok Lien atau Sri Iriani. Ia yang lebih akrab dipanggil Mbak Lien ini meneruskan usaha warung lunpia yang berada di Jl Pemuda Kampung Grajen.
Lokasi warungnya seperti terselip di antara toko-toko besar. Ada plastik yang dibentangkan dengan tulisan nama usahanya dipasang di mulut gang sebagai penanda. Kesibukan sejumlah karyawan terlihat, ada yang meracik isi lunpia, menggoreng, dan mengemasnya dalam besek (kotak makanan yang terbuat dari anyaman bambu).
Sementara sejumlah pembeli antre dengan duduk di bangku panjangn menunggu giliran mendapatkan lunpia, pembeli datang silih berganti. "Kebanyakan pembeli adalah pelanggan lama. Mereka datang ke warung, tinggal menyebut ingin dibungkuskan lunpia berjumlah berapa. Ada juga yang pesan lewat telepon,'' katanya.
Lien menjual lunpia dengan kekhasan tersendiri, yakni lunpia yang manis serta rebung yang tidak berbau pesing. Selain itu isian udang dan telur diperbanyak. Di pasaran, hampir semua lunpia ini berpenampilan sama. Tapi bagi lidah, ada hal hal yang membuat berbeda.
"Karena bisnis kuliner ini adalah soal rasa maka saya berusaha menjamin kualitas seperti yang dibuat pendahulu saya," katanya.
Lien menceritakan usaha tersebut diawali oleh pasangan Tjoa Thae Joe-Wasi. Tjoa yang meninggal dunia tahun 1930-an itu membuat cita rasa lunpia berdasar asal daerahnya, Fukien China. Karenanya masakan yang dibuat bergaya Hokkian.
Sementara Wasi, adalah penjual lunpia lokal dengan cita rasa manis asin. Keduanya menikah dan menyatukan usaha mereka. Saat itu usaha yang dikembangkan berlokasi di Gang Lombok Kawasan Pecinan. Selanjutnya usaha itu diteruskan anaknya, Siem Gwan Sing. Generasi ketiga, Siem Swie Hie membuka warung di Jl Pemuda dan berkembang hingga kini diteruskan oleh Lien.
Lien menjelaskan, beberapa keluarga keturunan Tjoa-Wasi ini juga meneruskan usaha menjual lunpia, di antaranya pamannya yang masih membuka warung di Gang Lombok dan sepupunya di Kampung Baris Jl Mataram. Ia sendiri mulai ikut mengelola warung sejak 20 tahun silam. Setiap hari warungnya buka mulai puku 08.00-21.30 WIB.
"Di Jalan Pemuda ini, usia warung saya sudah 60 tahun. Anak-anak saya sekarang juga ikut membantu menjalankan usaha ini. Keinginannya saya bisa membuka cabang lagi di kemudian hari," katanya.
Bagi Lien, lunpia sebagai oleh-oleh khas Kota Semarang harus berkembang. Semakin banyak yang berjualan lunpia maka jajanan ini pun semakin dikenal. Setiap pelancong yang mampir ke Kota Semarang bisa membawa lunpia ini sebagai oleh oleh khas, bersanding dengan bandeng duri lunak dan wingko babad.
Menurutnya banyak penjual-penjual lunpia baru bukan sebagai pesaing. "Semua sudah ada konsumennya sendiri," katanya. ( Moh Anhar / CN13 )
sumber : suara merdeka